Musim dingin kembali menyapa Bumi Beton. Kabut tebal menyelimuti kota. Angin sepoi menambah dingin lagi suasana. Sang surya hangat di peraduan, bahkan enggan tuk berbagi sinar, walau hanya secercah cahaya. Kendati baju telah merangkap tiga, dan lengkap dengan scraff serta sarung tangan, namun angin sungguh tak mengenal manusia. Ia berhembus menembus sesiapa yang ada, dengan garangnya. Lalu, seluruh kota terasa dingin, kebekuan merajalela, bahkan bertahta dengan angkuhnya.
Minggu ini, tak seperti biasanya. Aku betah bermanja-manja dengan selimut tebal di atas ranjang. Dingin telah melunturka semangat liburku. Padahal biasanya, setelah shalat shubuh, pasti aku tak bisa lagi memejamkan mata. Sibuk menata rencana, untuk acara siang nanti. Pergi ke Organisasi, ke perpustakaan, bayar bill ini, itu, atau temu janji dengan teman di tempat-tempat tertentu, atau juga pergi ke masjid bila ada undangan pengajian.
Ugh………
Malas betul pagi ini, aku mengulet. Bersyukur karena minggu ini tak banyak kesibukan. Hanya akan menemui teman lama, di restorant Indonesia siang nanti. Aku beranjak ke dapur, lalu menyeduh teh susu instant. Panas!. Biarpun teh itu mendidih, namun sengaja perlahan kuseruput sedikit demi sedikit, untuk menghangatkan badan, yang seolah beku. Setelah badan terasa hangat, buru-buru aku memakai jaket tebal, hingga terasa berat tuk berjalan. Bahkan sepintas aku lebih mirip balon pelempung berjalan.
Huh…..merepotkan betul!
Langkahku gontai memasuki lift, lalu segera kutekan huruf G, tak lama kemudian, lift itu mengantarku kebawah, hingga lantai dasar. Senyum security mengembang kala ia melihatku, sambil mengucapkan selamat pagi. Keluar loby, badan ku langsung di sambut angin dan kabut. Dingin…!!!. Sambil berjalan, aku melihat jaket, serta pernik-pernik musim dingin yang terpajang diemperan toko-toko. Para pedagang kaki lima ramah menawarkan dagangan pada setiap orang yang dijumpainya.
Lelah kaki berjalan, akhirnya tiba juga di tempat tujuan. Yaitu, restoran Indonesia. Seorang wanita telah menantiku di dalam. Cantik. Kami bersalaman, lalu berpelukan. Hampir setahun aku tak melihatnya, namun keadaan rasanya masih sama. Dia mulai bercerita tentang keadaan anak, suami, dan seluruh keluarganya. Mengetahui aku bekerja di salah satu media cetak berbahasa Indonesia di Hongkong, lalu dia menyerahkan amplop berwarna biru padaku. Dia hanya bilang, agar aku membukanya di rumah kelak.
“Sungguh suatu pengorbanan yang berat” batin ku. Hari-hari berjuang dengan kecerewetan majikan, ulah bohong suaminya, dan kini, di tambah satu lagi masalah, yaitu anak semata wayangnya tak mau sekolah.
Jam sembilan malam, ketika semua pekerjaan telah selesai, aku masuk kamar. Pertama yang aku lakukan adalah, menyalakan lap top, lalu membuka email. Setelah lama duduk di depan lap top, baru aku tersadar akan amplop yang Asih berikan padaku sore tadi. Segera kuambil dan perlahan membukanya. Ada lima lembar kertas di dalam amplop tersebut. Semua bertuliskan tangan dengan pena berwarna biru.
Aku duduk di ranjang sambil bersenderkan bantal. Satu-persatu mulai ku baca tulisan itu. Di lembar pertama saat aku mulai membacanya, aku merasa heran. Itu karena tulisannya berbentuk surat. Dan inilah isi dari surat tersebut.
Assallamualaikum warrah mattullahi wabarokatuh.
Buat Nanda Tercinta
Syeikh
** Salam Berjuta Rindu Buat Nanda Tercinta **
Semoga salam dan kesejahteraan selalu bersama Nanda.
Nak,…sebenarnya Mama tak ingin engkau tahu akan kesedihan ini, juga tak ingin engkau tahu bahwa Mama di sini kini tengah gelisah. Namun, entah mengapa kata hati Mama ingin menulis, buat penawar kesedihan yang tengah Mama alami. Maafkan Mama Nak.
Pertama-tama, Mama sedih mendengar bahwa engkau tak lagi sekolah. Sedih, bahkan teramat sedih Nak. Harapan Mama akan masa depanmu, tiba-tiba terasa hancur. Mama tak tau harus bilang apa. Kini engkau tak lagi bersama Kakek, sehingga Mama begitu susah untuk menghubungimu.
Nak, usiamu kini, menginjak sepuluh tahun. Engkau baru saja naik kelas lima, dan belum juga tes catur wulan pertama. Namun, dua minggu yang lalu, ayahmu datang ke rumah kakek, dan mengiming-imingi sebuah motor, hingga engkau tak lagi mau hidup dengan kakek. Engkau lebih memilih hidup dengan ayah karena motor itu. Nak, perlu engkau tahu, Mama tak pernah melarangmu, untuk tinggal bersama ayah. Namun, satu hal yang Mama minta, lanjutkan sekolah, demi masa depanmu kelak. Jangan engkau berhenti, dan bersenang-senang bebas, bermain kesana kemari sesuka hati. Mama benar-benar menyayangkan jika sampai itu terjadi. Mama tahu, kini engkau bebas, hidup dengan ayahmu, tak ada yang mengusik untuk menyuruhmu ke sekolah. Ayah juga jarang di rumah, dan engkau tinggal bersama nenek dari ayah. Beliau tak mau memaksamu untuk pergi kesekolah.
Duh Gusti,….
Tahukan engkau Nak, Mamah di Hongkong sangat pusing memikirkan hal ini. Sudah dua minggu pihak sekolahan memberimu amaran. Mama juga berulang kali menghubungimu, namun sayang, ayahmu telah mengganti nomer HP, hingga sulit Mama berkomunikasi denganmu. Mama ingin sekali berbicara dengan mu Nak, seperti minggu-minggu yang lalu.
Hari Senin pagi, Mama sengaja menelpon ayahmu, menyuruhnya untuk mengantarkanmu ke sekolah. Namun, apa jawaban dari ayahmu. “Aku gak di rumah, sekarang lagi di luar kota, lagi pula aku sibuk, gak ada waktu” Seketika Mama lemas. Mama membayangkan engkau di rumah dengan nenek, tidak masuk sekolah dan hanya bermain-main. Bahkan tak terurus lagi seperti dahulu. Mama gak bisa berbuat apa-apa, karena Mama jauh. Seketika itu juga, badan Mama lemas, dada sesak. Bahkan Mama tak bisa lagi bekerja. Kepala Mama pusing, bahkan pandangan terasa berputar-putar tak tentu arah. Mama hampir saja saja jatuh, jika saja tak cepat-cepat tangan Mama menggapai teralis besi jendela. Mungkin Mama kurang tidur. Mama selalu memikirkanmu, dan tak memikirkan kesehatan Mama sendiri. Siang malam Mama berdoa, memohon pada Allah, supaya menyadarkan ayahmu untuk membawamu kembali ke sekolah.
Hari-hari Mama menelpon kakek, untuk menanyakan tentang perkembanganmu, namun jawabannya masih sama, bahwa engkau belum juga masuk ke sekolah. Mama tambah sedih Nak. Bahkan Mama hari itu benar-benar tak bisa bekerja. Mama memohon izin pada majikan untuk tidak bekerja karena Mama sakit. Sepanjang hari itu, Mama tak bisa berbuat apa-apa. Mama hanya terbaring, dan menangis. Rasa nelangsa benar-benar membuncah dalam dada.
Potongan rekaman masa lalu, kembali berputar dalam pelupuk mata Mama. Seolah merasakan kembali masa silam. Sedari kecil, Mama telah di tinggal oleh ayah, lalu sekolah juga hanya sebatas tamat SD. Maka dari itu, tak ingin engkau seperti Mama nantinya. Sampai Mama besar, merantau demi menghidupi keluarga. Dari Bandung, hingga Jakarta, Mama pernah melaluinya. Lalu saat usia tujuh belas tahun Mama di jodohkan dengan ayahmu. Mama tak mengenal sebelumnya, tetangga rumahlah yang menyuruh ayahmu meminang. Mama hanya mengenal ayahmu dua hari saja. Lalu, pernikahan berlangsung dua bulan kemudian.
Hidup dengan keluarga ayahmu memang tak seperti yang Mama duga, mungkin karena masih terlalu kecil dan Mama belum memahami cara hidup dengan mertua. Lima bulan kemudian di rumah ayahmu, Mama mulai mual-mual, dan setelah periksa, ternyata mengandung. Seketika bahagia mendengar bahwa Mama akan menjadi seorang ibu.
Nak, Mama beritahu kamu. Dulu waktu usia kandungan Mama empat bulan, Mama hampir saja keguguran. Itu terjadi karena Mama terlalu bekerja keras buat menanggung hidup keluarga ayahmu. Waktu itu, Mama tengah mencari kayu bakar di kebun. Mama menarik-narik daun kelapa kering(klari), dengan genter(bamboo panjang yang telah di keringkan dan ksusus buat menarik ranting kering yang di pakai orang untuk mencari kayu bakar). Mama terjatuh, saat menarik daun itu. Perut Mama sakit tak terperi. Lalu Mama di urut oleh seorang dukun bayi. Beliau bilang, nasib baik cepat di urut, jika tidak, mungkin bisa keguguran. Mama amat sengsara sewaktu mengandung mu Nak. Makanya, Mama tak rela jika melihat mu bersedih dan menangis.
Semakin hari, kandungan Mama semakin besar, tapi tampaknya tak ada kesadaran dari mereka, keluara ayahmu. Adik-adik ayahmu, semua masih bujang. Mereka hanya bermain dan bermain, lalu pulang bermain langsung makan. Tanpa menolong keluarga sedikitpun urusan rumah. Mereka tak melihat keadaan Mama yang tengah mengandung besar, terus bekerja dan mencari kayu bakar, membuat gula jawa buat keperluan hidup sehari-hari mereka. Pendek kata, Mama bagai pembantu di rumah ayahmu. Sering aku mengadu pada (Buyutmu), namun beliau hanya menasehati, “Ikut mertua ya, harus prihatin” katanya.
Tak lama kemudian, di suatu hari perut Mama terasa melilit. Lalu pergi periksa ke rumah Bu Bidan, beliau bilang, sudah waktunya melahirkan. Bidan itu memberi Mama suntik dorong, agar kamu yang berada dalam kandungan, cepat-cepat keluar. Namun tak di duga Nak, ternyata engkau lebih senang berlama-lama di dalam perut. Hikz…mama meringis kesakitan. Dari jam enam sore hingga jam delapan pagi, Mama terbaring tak berdaya. Segala upaya, dan tenaga, telah di kerahkan, hingga hampir kehabisan tenaga. Namun engkau, belum juga bergerak. Hingga di suatu pagi, tepat jam delapam tiga puluh, ketika ayahmu tengah ke pasar untuk menjual cincin untuk biaya Bidan, engkau akhirnya keluar dari rahim dengan santunnya. Engkau tak menangis sedikitpun, bahkan kami sempat ketakutan. Kami semua mengira, bahwa engkau bisu atau telah pergi ke Rahmatullah, karena terlalu lama di dalam perut. Namun, setelah Bu Bidan menyedot hidungmu dengan selang kecil, tiba-tiba saja engkau terbatuk lalu menjerit-njerit.
Oe, oe , oe, oe……
Jeritmu, nyaring dan seolah-olah ingin mengatakan pada dunia, engkau telah menang!. Engkau telah merdeka. Mendengar jeritanmu, hati Mama bahagia, begitu juga seisi rumah. Semua ikut bahagia. Ketika ayahmu, pulang dari pasar, semua telah beres. Engkau telah di mandikan dan Mama pun lega karena melihatmu selamat. Hari itu, Mama sungguh bahagia, karena Mama telah menjadi seorang ibu.
Tiga bulan kemudian, setelah lama tinggal di rumah (Buyut) untuk melahirkan, ayahmu meminta kita semua kembali tinggal di rumahnya. Sebagai istri Mama menurut saja. Mama semakin sibuk. Selain harus membuat gula merah, Mama juga harus mengurusmu. Lama-kelamaan Mama semakin tertekan hidup di rumah ayahmu. Itu karena tiada kepahaman dari orang-orang di sekelilingnya. Mereka tetap saja tak mau menolong Mama untuk mencari kayu bakar atau mengurus rumah walau sedikit. Semua Mama yang melakukannya. Dari menyapu halaman, memasak, mencari kayu bakar, membuat gula, dan mengurusimu yang masih bayi.
Masih jelas dalam memory ingatan, bagaimana Mama sambil menyapu, sambil memasak sayur, memasak gula, ataupun mencari kayu bakar, kita lakukan bersama-sama. Engkau tak pernah lepas dari gendongan. Tak tahan dengan perlakuan mereka, akhirnya Mama meminta pada ayah untuk hidup sendiri. Mungkin engkau tak percaya Nak, setelah ayah setuju untuk hidup sendiri, kita hidup di gubuk empat tiang.
Saat usiamu dua tahun, Mama di tawari untuk merantau bekerja di luar Negara. Dengan harapan, mampu merubah masa depan kita. Dengan terpaksa, Mama menyapihmu. Hal paling menyedihkan pada saat itu, adalah perpisahan kita. Pertama kali dalam hidup Mama, harus berpisah darimu. Engkau menangis saat menatapku pergi, namun lebih menangis lagi Mama. Mama yang telah melahirkanmu. Kesedihan memuncak kala Mama sakit di PT, sungguh ini suatu cobaan bagi kita, terutama Mama.
Dua tahun penuh di rantau, Mama tak pernah berfoya-foya. Semua uang hasil jerih payah, Mama kirim pada ayah. Bahagia saat mendengar bahwa uang hasil kerja itu telah ayah belikan sapi dan tanah. Sungguh besar harapan Mama untuk pulang dan tak lagi berpisah darimu. Mama merasa cukup sudah penderitaan karena perpisahan kita. Hingga akhirnya, tiba saatnya Mama pulang ke tanah air. Bahagia karena bisa melihatmu lagi. Pertemuan yang mengharukan, setelah dua tahun tak bersua. Engkau telah menjadi anak yang pandai dan lincah. Hari berlalu, hingga bulan pertama Mama di kampung, mulailah terkuak kebohongan ayahmu. Sapi yang pernah dia katakan dahulu, ternyata tidak ada. Dan tanah yang katanya telah ia beli, rupanya hanya bohong belaka. Sungguh rasa kecewa tiada terkira pada ayahmu. Saat Mama menanyakan, kemana hasil jerih payah selama ini, ia hanya bilang, habis menjadi kotoran di kebun. Ya Rabb,….
Tak mengapa, bagi Mama, uang bisa di cari. Namun, bisa bertemu kembali dan memelukmu, adalah suatu anugerah tersendiri. Kembali menjalani hidup di desa bersamamu, dan ayah. Hidup sebagai pembuat gula seperti dahulu. Tahun pertama, kembali keluarga kita di dera cobaan. Mulai dari kuali besar yang untuk membuat gula jawa selalu bocor dan berganti, padahal harganya tak murah buat kehidupan kita di kampung. Dan cobaan kebakaran rumah kita, yang membuat hangus seluruh dapur dan isinya, semua itu membuatmu trauma jika melihat api. Sungguh hidup ini penuh cobaan Nak. Dan Mama harap kelak, engkau menjadi anak yang tangguh dalam mengahadapi segala cobaan hidup.
Saat engkau mulai sekolah TK, dan bahagia dengan dunia barumu, kembali cobaan menyapa. Yaitu, ayahmu terpaksa di rawat di rumah sakit karena terkena usus buntu. Tiada uang sedikitpun kala itu. Semua sudah habis untuk membangun kembali dapur yang telah dilalap jago merah. Sedih tiada terkira. Mungkin engkau tak tahu, waktu itu Mama sangat ketakutan bila harus kembali berpisah dari kalian berdua. Namun apa boleh buat, untuk membayar semua biaya rumah sakit, ternyata kita tak ada uang. Mama terpaksa berhutang kesana kemari, untuk membayar biaya rumah sakit. Di kampung untuk mencari uang yang berjumlah jutaan rupiah, tidaklah mudah. Untung saja, Mama mendapatkan uang itu.
Tak lama kemudian, setelah ayahmu kembali ke rumah, ternyata ia tak mampu kembali bekerja seperti dulu, yaitu memanjat pohon kelapa dan mengambil air nira untuk di jadikan gula jawa. Sedangkan kita semua perlu makan dan hutang telah pun bertupuk. Hari-hari berhutang hingga Mama merasa malu. Dan di suatu siang, rumah kita di datangi tamu. Mereka menagih uangnya
Hingga terpikir oleh Mama untuk kembali merantau ke luar negeri, guna melunasi hutang-hutang. Setelah mama meminta izin pada ayah untuk kembalimerantau, ayah pun merestui. Tak di sangka, Mama akhirnya bisa sampai di negeri beton. Hongkong. Tujuh bulan pertama, gaji mama di potong agent. Selepas itu kembali uang Mama kirim ke rumah, yaitu pada ayahmu. Hingga di suatu hari mama mendengar, bahwa ayahmu kembali berbohong.
*******
Agh………….
Aku menguap membaca surat curhat teman ku. Tak terasa tiga lembar sudah. Semua cerita kesengsaraannya di masa silam. Lap top ku diam. Pesan masuk di FB telah bertumpuk, namun aku belum juga menyentuhnya. Kembali aku meneruskan lembar ke empat. Dan inilah yang di lembar ke empat serta lima.
Ayahmu pernah bilang, bahwa dia tengah berbisnis kayu, dan perlu banyak uang. Mama percaya saja padanya. Hingga harus mengutang uang ke majikan. Mama kembali potongan gaji. Karena uang telahpun di ambil di muka.
Dua tahun Mama rasa belum mencukupi, hingga terpaksa Mama menambah kontrak. Di kontrak kedua Mama mulai di bihongi sama ayah. Ah… namun biarlah, uang bagi Mama tak masalah, namun yang penting kita akan bertemu lagi. Saat engkau kelas dua, mama menyuruh nenek Jakarta(nenek dari mama) mengambilmu, dan sekolah di sana. Itu karena Mama selalu mendengar bahwa engkau tak terurus, baik keseharian maupun sekolahnya. Hingga engkau pun akhirnya sekolah di Jakarta bersama nenek. Dua tahun di Jakarta membuat mu agak bandel, hingga jarang masuk sekolah dengan banyak alasan. Nenek yang sangat menyayangi, juga tak mempan memarahimu. Engkau semakin nakal dan liar. Kendati usiamu masih anak-anak, namun karena lingkungan di daerah nenek kurang baik, akhirnya engkau tumbuh jadi anak yang suka membangkang. Sedih rasanya mendengar bahwa engkau tak masuk sekolah.
Tak hilang akal, kembali Mama memindahkanmu, untuk sekolah di Jawa. Sekolah swasta, yang cukup mahal. Di sana engkau di didik sama Bu Dek. Allhamdulillah lega rasanya bisa mendengar engkau sekolah, mengaji, berenang, les inggris dan lain-lain. Mama sering menelpon mu, dan mengajarimu doa-doa. Doa buat kedua orang tua, doa jika hendak belajar, ataupun doa-doa yang lain. Sungguh bahagia Mama mendengar engkau bisa mengumandangkan adzan setiap kali waktu shalat tiba. Mama benar-benar berterima kasih pada Sang Khalik, karena telah mengaruniakan buah hati sepertimu. Mama bangga dengan prestasi-prestasimu. Dari lomba olah raga, sampai lomba pidato, engkau selalu mendapat juara.
Sungguh Mama bangga padamu Nak. Apalagi setiap kali Mama menelpon, dan bicara denganmu, engkau tak pernah berbicara dengan bahasa jawa kasar. Namun bahasamu adalah bahasa yang halus, dan bertata krama inggil. Namun sayang, semua tak bertahan lama. Lebaran menyapa, dan nenek yang di Jakarta pulang ke jawa. Walau nenek hanya singgah satu minggu namun engkau jadi tak mau lagi kesekolah itu dengan alasan bahwa sekolahan itu terlalu ketat peraturannya. Kembali Mama mengalah karenamu. Walaupun Mama kecewa karena sifatmu, namun tak apa, yang penting bagi Mama engkau sehat dan sekolah, terutama mengaji. Akhirnya engkau lebih memilih tinggal dengan kakek (paman mama). Bagi Mama tak masalah, engkau tinggal di manapun, semua keluarga kita, asalkan jangan lupa shalat dan mengaji. Ya , karena itulah bekal untuk masa depanmu, dunia dan akhirat.
Di rumah kakek, engkau juga baik. Ngaji, sekolah, dan banyak ikut lomba-lomba. Mama juga tak memaksamu, asalkan engkau suka. Mama memberikan kebebasan serta semua keperluan mu. Dari sepeda, mainan, buku-buku cerita dan pelajaran, semua Mama pilihkan yang terbaik buatmu. Apalagi engkau naik kelas lima dengan nilai rapot yang memuaskan, sungguh Mama bahagia. Dalam hati Mama, apa pun yang kamu mau akan Mama berikan, asalkan engkau sekolah dan mengaji. Lama tiada kabar tentang ayahmu namun kini, saat engkau telah kelas lima dan telah hidup damai bersama kakek, tiba-tiba saja ayahmu muncul. Dan engkau lebih memilih hidup dengan ayahmu, dengan alasan, karena ayah memiliki sepeda motor
Ya Rabb,…
Tahukah engkau Nak, bukan Mama tak memberimu izin untuk tinggal dengan ayah, masalah nya engkau jadi tak sekolah. Sedih saat Mama menelponmu, dan mendengar bahwa engkau hampir di keluarkan dari sekolah. Mama sungguh kecewa. Kecewa pada ayah. Yang tak memikirkan tentang sekolah, serta masa depanmu.
Nak, andai engkau tahu, Mama ingin sekali melihat masa depanmu kelak cerah. Mama ingin engkau jadi manusia yang berguna bagi agamamu, bagi lingkunganmu, bagi saudara-saudaramu, syukur-syukur bagi nusa dan bangsamu. Sungguh Nak, Mama tak ingin melihatmu seperti Mama, hidup tanpa pendidikan, hanya akan menjadi manusia bawahan, dalam segala hal. Mama takut itu terjadi padamu. Makanya, apapun yang terjadi, Mama tak perduli. Yang penting engkau sekolah dan mengaji.
Di sini, di ranjang ini, Mama tengah tergolek tak berdaya. Mama rindu akan suaramu. Rindu akan celoteh manjamu, yang mengingin kan adik seperti teman lainnya. Rindu ingin mendengar hafalan shalat serta doamu, dan rindu akan bahasa kromo inggilmu. Duh ….ya Rabb, semoga saja engkau sampaikan salam rinduku padamu. Walau Mama tak bisa lagi menghubungimu karena nomer HPmu telah diganti oleh ayah, namun doa Mama selalu menyertaimu. Percayalah, jauh jarak yang memisahkan kita, tak menghalangi rasa cintaku padamu. Hanya ada satu jalan agar Mama merasa dekat denganmu. Yaitu dengan berdoa. Yah,… Mama serahkan segala urusan ini pada Tuhan, Rabb yang selalu melindungi kita, menyayangi dan yang akan menyatukan kita kelak.
Besar harapan mama kelak engkau akan menyadari betapa hidup di dunia ini perlu ilmu. Belajar dalam segala hal. Nak, harapan Mama moga kita bisa bersatu lagi, dan Mama akan menebus segala kasih sayang Mama dengan cara kita hidup bersama. Mama hanya mampu berdoa, di hari Fitri kelak, kita kan kembali bersua. Mama akan kembali menyekolahkanmu, dan Mama tak kan pergi lagi demimu. Dalam setiap sujud dan tahajud, Mama tak pernah lupa akan namamu.
Nak, satu pesan Mama buatmu, jangan lupa selalu shalat, dan berdoa pada Allah, agar kita kelak di pertemukan kembali.
Terima kasih ku pada Tuhan, Rabb yang setiap saat nya selalu melindungi kami, semoga mendengarkan doaku. Amin, ya Rabb.
Love you forever, My son. Syeikh.
******************************************************
Wasaalamualikum warrah matulahi wabarokatuh.
Aku menghela nafas, air mata masih terus mengalir dengan sendirinya. Surat kembali kulipat, dan kurapihkan. Dalam hati, aku merasa salut pada Asih, betapa perjuangannya amat berat untuk hidup yang amat sederhana ini. “Sungguh engkau wanita perkasa dan tabah” desisku. Semoga doa dan perjuangan mu tak sia-sia. Aku percaya, bahwa Allah tak pernah lena dalam mengurusi umat nya. “Insya allah curhat ini akan segera kugarap dan akanku terbitkan dalam surat kabar minggu ini.” janjiku, dalam hati. Tunggu dan bersabarlah Kawan. Aku selalu bersamamu.
Setelah selesai membaca, kembali aku menyentuh lap top, lalu dengan cepat, jari-jemariku, menari-nari diatas keyboard, untuk menulis curhatnya.
Minggu.
Kembali kami bertemu di lapangan Viktory. Asih telah memegang surat kabar, lalu membacanya. Air mata tak tertahan kala ia melihat “Kolom curhat” di dalam nya. Ia menangis, sambil memelukku erat. Ku sambut pelukannya, serta ku bisikkan kata ”Bersabarlah Sobat, Allah selalu beserta orang-orang yang tawakal dan bersabar” lalu, perlahan ia tersenyum, sambil menatap langit. Ia mengaminkan doaku. Berharap pada Sang Maha Mendengar, kan memberikan hidayah.
Cerpen Cinta : CURHAT BUAT NANDA bagaimana yaa/??? baguss gaakk..???