Cerpen Sedih : KASIH PUTIH kali ini meja dunia bukan hanaya sekedar memberi Informasi Kredit terbaik di Indonesia ya itu Sepeda Motor Injeksi Irit Harga Terbaik Cuma Honda Cerpen kali ini bertema Cerpen sedih mungkin akan de apdet lagi Cerpen Persahabatan jadi stay terus di Meja dunia yooo jangan lupa like thisss!!!
Menyusuri jalan kota malang yang masih diselimuti kabut, dingin menusuk tulang dan sendiku. Kota asri dengan keramahan pendudukannya, seolah menyambut siapa saja yang hendak singgah. Tapi kerinduan akan kota pelajar ini tak bisa kubendung. Dudukku di trotoar alun-alun bunder sambil pandangi gedung DPRD yang dulu penuh sesak oleh mahasiswa yang memprotes kebijakan pemerintah. Tapi pagi ini, bangunan itu sepi, berdiri kokoh dan angkuh. Dia menyimpan sejuta cerita yang tertulis rapi dalam book storynya. Setelah berlari beberapa putaran, nafasku tak cukup panjang lagi tuk lanjutkan jogging pagiku.
Masuki lobby hotel tugu, bergegas ku mengambil kunci kamar yang kutitipkan pada recepsionis yang slalu tersenyum ramah, dibalut busana batik, anggun sekali. Kurebahkan tubuh bersimbah keringat ini diatas springbed empuk bercover pink-blue. Kurentangkan tanganku, kuhirup udara pagi kota malang yang masuk dari jendela kamar hotelku yang sengaja kubuka dan matikan ACnya. What a wonderfull city batin ku. Puas beristirahat, ku basahi tubuh dengan air mawar yang tlah disiapkan oleh room service. Nyaman banget, aroma lembut mawar berikan berjuta ketenangan. Brendam sambil menikmati secangkir coffee latte hangat…. Ehm… what a life!
Jam 9.15 pagi bergegasku tinggalkan kamar hotel dan naiki taksi yg tlah ku pesan sebelumnya. Duduk dibangku belakang sambil pandangin kota Malang yang tak banyak brubah, kecuali banyaknya ruko berjejal dispanjang jalan. Pasar pagi di stadion Gajayana tak lagi ada, digantikan oleh mall yang berdiri megah.
Pasar pagi? Ehm…, spontan ku tersenyum. Ada banyak kisah manis disitu.
Tiba-tiba lagu melo Danial Sahuleka memecah lamunanku. Kuangkat telpon dan menjawabnya ”Sampai mana Chie?” Tanya lelaki dengan suara beratnya. “bentar lagi. Sabar ya” jawabku. “Pak kebut dikit ya” pintaku pada sopir taksi.
Lima menit berselang, aq tlah sampai di depan rumah mungil bercat biru. Stelah membayar taksi, kupencet bel rumah yg berbentuk sapi, mooow…. Mooow….bunyinya. Tak lama berselang sosok tinggi keluar, bukakan pintu pagar lalu persilahkan aku masuk.
“mo minum apa?” tanyanya ramah beberapa detik setelah ku duduk disofa putih gading miliknya. “air putih aja” jawabku singkat. “tamu jauh kok cuma dapet air putih, coffee or some tea?” tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng menjawab niat baiknya.
Kupandangi punggung bidangnya yang berlalu mengambil segelas air. Sosok yang pernah mengisi hari indahku. Lelaki yang tlah torehkan tinta emas terindahnya dalam buku harianku yang hingga kini masih kusimpan rapi dan kusembunyikan direlung hatiku yang terdalam. Melihat senyumanmu yang suguhkan ketenangan dan kedamaian buat kerinduanku menyeruak, berontak, dan tak terbendung. Kerinduan yang slama ini cukup terobati hanya dengan mengingat tawamu dan hangatnya genggaman tanganmu.
Tak banyak yang brubah darimu, masih ganteng meski tak lagi muda. kamu kini tlah menjelma menjadi sosok dewasa yang tetap sulit tuk ku elak. kamu masih mempesona, lebih mempesona bahkan.
“mikir apa sih?” tanyamu buyarkan anganku sembari menyodorkan segelas air. “nothing” jawabku singkat. Tak begitu lama, kami pun larut dalam obrolan yang sbenarnya hanya basa basi semu sbelum masuki inti dari maksud kedatanganku yang tak lain adalah pintamu beberapa hari yang lalu.
Waktu itu, lewat tengah malam kau telpon aku, kau katakan betapa kau tak bisa hidup tanpaku, betapa beratnya hari-hari yang kau jalani tanpaku, betapa rapuh dan pongahnya dirimu. Kau ungkapkan betapa merindunya dirimu. Kau juga bertutur tentang petualanganmu dengan beberapa wanita yang katamu tak pernah bisa sesempurna aku dalam merenda kasih. Rasa kecewa, haru, sedih, senang, juga bangga tersaji seketika. Memohonmu tuk bisa temuiku, lima menit cukup ga lebih, pintamu kala itu. Aku yang kan mencarimu, aku yang butuh kamu, aku yang bodoh, aku, aku, dan berjuta aku terucap. Tapi sangat mustahil untukku bisa temuimu dikotaku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menemuimu.
Ditengah obrolan hangat, tiba-tiba kau genggam tanganku. Kucoba tuk menariknya. Tapi kerlingan matamu buatku luluh. Kubiarkan dan nikmati genggamanmu sesekali kau mainkan jemariku. “I miss you” bisikmu “and I still in love with u” lanjutmu. ”How can I live if apart of my soul was jailed by your love? How can I breath freely if my lungs don’t have any air to breath, cos the oxygen was tubed and taken away. And tell me, how can I live normally if my heart was gone long time ago. He prefer lives with u wether with his soul” ungkapan hatimu sambil tetap menggenggam erat jemariku dan pandangiku penuh kelembutan. Ya tuhan, Bantu aku untuk hentikan smua ini. Bantu aku untuk bisa tetap berdiri dan bertahan dari cinta putih ini.
Tak banyak kata yang mampu kuucapkan, hanya beberapa kali kata “Sorry” keluar dari bibir tipisku. “ aku pulang dulu ya, ntar malem dinner dimana?” tanyaku mencoba alihkan topic pembicaraan dan mengganti suasana yang tlah mengharu biru. Aku takut terlelap dan terbuai dalam mimpi manis yang real ini. Hatiku pun ingin terlena tapi logikaku berkata lain. Tapi kau hanya diam seribu bahasa. Hanya matamu yang coba berbicara dan terus pandangiku. Ah…. Mata indah ini!
“Maaf ya” kata ku, sembari bergegas pergi. Tapi genggaman tanganmu begitu erat. Tak ada daya tuk ku lepaskan, sbaliknya tiba-tiba kau tarik aku dalam pelukmu. Kau memelukku beritu erat seolah inilah pelukan terakhir yang kau miliki. Air mataku terurai. “Ar, aku pun merindu, aku juga ingin bersamamu, tapi….” Aku tak mampu selesaikan kalimatku saat tiba-tiba kau katakan, “I’m dying chie, I’m dying” katamu. Tak ku mengerti kenapa tubuhmu bergetar hebat saat kau ucap kata itu.
Ya Tuhan gimme a clue. “Ar, apa yang salah? Kamu kenapa?” tapi kamu tak mau menjawab apapun selain pelukanmu yang semakin erat. “ Arry, honey….. look at me. Tell me what’s goin on?” pintaku. Sementara kau hanya menggelengkan kepala.
“May I kiss your lips?” pintamu yang spontan buatku ingin lepas dan berlari sejauh mungkin dari pelukanmu. “Chie, I know it’s wrong and I know it’s the biggest sin I give to you, but….. Just once, please Chie. I promise, it must be the last kisses” pintamu mengiba. Tak kupahami diriku yang tlah terhipnotis kharismamu dan biarkanmu mencium bibirku lembut dan mesra. Tersentakku ketika ku tahu kau menangis saat kau menciumku.
“Ar, kamu sakit?” tanyaku beberapa menit kemuadian. “Apa yang kau sembunyikan Ar” tanyaku lagi. “apa yang belum kau ungkapkan slain rasamu yang terlalu padaku?” pintaku mencari kejujuran sembari duduk didepannya. Tapi bibirmu terkatup rapat. Hanya senyum manis yang kau berikan. “ kalo kamu ga mau ngomong, aku pulang aja ya” ancamku. Tapi kamu tak bergeming, duduk terdiam dengan tatapan yang sulit untukku artikan. “ bener nich, aku pulang ya!” ancamku dan mempertinggi nada suaraku.
Kuambil tas ku dan berlalu dari hadapanmu. Tiba-tiba kau peluk aku dari belakang, ciumi leher dan pundakku. “Arry!” bentak ku sambil memberontak mencoba lepas dari rengkuhnya. “malu Ar, malu, apa kata orang nanti!” lanjutku. “Ya Tuhan, tolong buat dia mendengarku, tolong hentikan smua kegilaan ini” doaku. Berkali-kali ku coba lepaskan pelukannya. Tapi, tubuh mungilku tak berdaya melawannya. Dari semula ini adalah kesalahan besar. Tak seharusnya ku menemuimu, berbohong pada anak dan suamiku, juga keluarga besarku. Apa yang kan suamiku lakukan kalau dia lihatku begini. “Ya Tuhan bantu aku tuk lepas. Ampuni otak udangku ya Robb” pintaku dalam hati.
Tak lama kemudian kau lepaskan pelukanmu, ketika tiba-tiba kau berdiri diatas lututmu lalu berkata ”Ampuni aku yang bodoh ini ya, pukul aku kalo kau mau. Tampar aku, biar ku bangun dan hidup kembali. Maki aku semaumu. Aku memang gila. Mengharap sesuatu yang ga mungkin bisa aku miliki. Khayalkan kehidupan padahal tubuhku tlah mati. Maaf ya, hasratku terlalu padamu. Aku coba expresikan rasa yang skian lama ku pendam dan tlah rasuki stiap jengkal tubuhku. Cintaku yang mendalam mengalir dalam aliran darahku hingga begitu sulit tuk ku lepaskan. Kamu lebih dari apa yang mampu kau fikirkan. Kamu sgalanya bagiku” kau berhenti sejenak lalu mengambil nafas dalam-dalam” Tunggu ya, aku punya sesuatu yang tlah lama aku siapin untuk kamu” rasa kesalku buatku tak bereaksi atas pintanya. Tak kuhiraukan dia yang masih bersimpuh. “Chie, skali ini aja, tolong dengarkan aku, ya…. Cantik!” rayumu buat ku luluh dan tersenyum.
Kamu bergegas masuk kerumahmu, dan tak lama kemuadian kamu keluar membawa bungkusan kado warna biru tua, berhias bunga mawar merah diatasnya. “jangan dibuka sebelum kamu sampai Jakarta ya…! Janji ya…. “ pintamu. Aku mengangguk lalu meninggalkan rumahmu. “Chie! Panggilmu, “ aku anter ya” lanjutmu. “Ga usah, thanks ya” jawabku cepat. “please Chie, ya… aku khawatir, ntar kamu kenapa-napa lagi?” argument mu buatku tak punya pilihan kecuali iya.
Jarak rumahmu ke hotel Tugu tak terlalu jauh, ga sampai 15 menit. Tapi laju mobilmu yang begitu pelan diiringi suara khas Sade Adu, serasa melayang pada masa remaja ku dulu, masa indah yang kulalui bersamamu. Raut bahagia terpancar jelas di matamu, sesekali kau belai lembut rambutku, dan sesekali pula kau genggam erat tanganku dan menciumnya mesra. Hatiku tertawa, kita tak ubahnya sepasang manuasia yang dimabuk asmara. Tak kusadari kalau dari tadi mobilmu hanya berputar-putar dijalanan depan hotel tugu. “ Ar, kita da sampe, mampir yuk” ajakku. Kamu hanya tersenyum. “ soal dinner aku ga janji, tapi I’ll try the best. Ntar aku kabari ya” katamu sebelum beberapa saat berlalu dengan mercy new eyes mu.
Kumelangkah dengan hati berbunga skaligus rasa bersalah yang sama kadarnya. “Sore mbak”, sapa pak satpam ramah. “sore juga pak” jawabku sambil bergegas menghampiri resepsionis tuk mengambil kunci kamarku. Sesampainya di kamar, kuletakkan kado Arry diatas nakas samping ranjang. Pikiranku berkecamuk. Senang sedih, takut, bahagia tercampur jadi satu dalam wadah kebimbangan.
Tiga jam berlalu begitu lambat. Berkali-kali kulihat jam tangan. Tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Tak jua sms ataupun telpon darimu. Kurebahkan lagi tubuhku diatas springbed empuk ini sambil memeluk bantal, kupandangi kotak kado dari Arry. “kira-kira apa isinya” rasa penasaranku buatku tak indahkan janji yang kuucap. Perlahan ku buka bungkusnya. Ada beberapa kertas dan sebuah kotak perhiasan disitu. Kuambil kotak perhiasan dan membukanya, “wah…. Cantiknya” seruku. Sebuah cincin emas putih bertahtakan berlian yang lumayan besar dan berkilau indah. “Tapi… untuk apa dia memberiku cincin ini?” Tanyaku dalam hati. Kuambil beberapa lembar kertas yang masih tertata rapi dalam kotak kado itu. Ya tuhan, betapa terkejutnya aku saat ku baca kalau kertas kecil itu berisi BPKB mobil dan STNK atas namaku beserta kuncinya, walau pajaknya tlah mati. Kuambil lagi lipatan kertas kedua, ku buka dan ku baca dengan cermat dan seksama. Ternyata lembaran ini berisi fotokopi sertifikat tanah dan rumah yang juga atas namaku, beralamatkan tempat tinggalnya. Rumah yang tadi aku singgahi. Rumah yang menyimpan banyak kenangan manis dan terlalu indah untuk ku kenang. Kuambil satu lembar kertas yang tersisa, tulisan tanganmu bertutur sperti ini:
“My lovely Chie, sorry kalau apa yang kuberikan ini membuatmu berfikir dan bertanya-tanya. Hanya ini yang mampu kuberi padamu. Hanya dengan ini ku tetap bisa menggenggam erat cintamu. Sertifikat tanah dan rumah yang asli ada dinotaris, sertifikat ini hanya butuh tanda tanganmu untuk mengesahkannya. alamatnya ada dimamaku. Kalau saatnya tiba, beliau kan menghubungimu. Tolong, jangan ditolak ya. Soal cincin berlian itu, anggaplah itu sebagai tanda dari ikatan benang merah hati kita. Walau apapun yang terjadi benang merah ini akan tetap terikat dijari manisku. Benang merah yang tlah terikat di jari manismu jangan dilepas ya…. Biar ku bisa melihat dan merasakan kebahagiaan yang kau rasakan. Biarku bisa memohon doa dan berimu semangat kala kau jatuh. Cincin ini Cuma simbol, tak sebanding dengan cintaku padamu. Tak sebanding dengan hasratku yang haus akan hadirmu.
Love you much Chie, my eternal love”
Air mataku mengalir deras bak Niagara. “Apa yang kau sembunyikan dariku Ar?” Tanya hatiku. Kuambil handphone ku untuk menghubungimu. Tapi, belum juga kugenggam handphoneku, Danial Sahuleka tlah berdendang merdu “you make my world so colourfull, I’ve never had it too good, my love I thank you for all the love you gave to me…..”
Kulihat siapakah yang menghubungiku, ternyata ini darimu. Ku jawab telpon mu, tapi… kanapa seorang wanita dengan suara berat menahan tangis yang menghubungiku? Siapa dia? “Chika, ini tante, mamanya Arry, kamu dimana nak? Arry… Arry… “ Wanita paruh baya itu tak mampu merampungkan kalimatnya. Tak lama seorang laki-laki dengan suara yang amat berat dan parau melanjutkan penggalan kalimat tadi “Chika, bisa dateng kesini nak, Arry… kritis, skarang ada di ICU di rumah sakit Beta, kamu tahukan nak, sekarang ya sayang” laki-laki itu langsung mematikan telponnya. Tanpa perduli seribu Tanya yang menjejali otakku. Aku lemas seketika. “Arry!!!” teriakku dalam hati.
Aku bergegas menuju lobby hotel menitipkan kunci kamar dan memanggil taksi yang kebetulan lewat didepan hotel “Rumah sakit Beta pak, cepet ya pak!” kataku pada sopir taksi itu. Sesampainya dirumah sakit aku berlari secepat mungkin tuk dapat melihatmu endless love ku, tak ku hiraukan suster rumah sakit yang menegurku untuk tidak berisik dalam rumah sakit.
Sampai diruang ICU, kulihat tante Leni yang tak hentinya menangis di pelukan om Burhan-suaminya. “Om, tante… Arry gimana?” tak seorangpun yang menjawab. Tante Leni lalu berdiri dan langsung memelukku. Tangisnya tak terbendung lagi. Aku berusaha menenangkannya, walau seribu tanya yang berkecamuk dihatiku belum terjawab. Kuajak tante Leni untuk duduk kembali. Pelan-pelan kuulang kembali pertanyaanku tadi.
Tante leni masih larut dalam dukanya, sambil menepuk-nepuk punggung tanganku, kemudian dia bercerita “ Arry kena kanker otak stadium lanjut, dia bisa bertahan sampai sejauh ini merupakan keajaibanNya. Besarnya cinta yang dia miliki membuatnya mampu bertahan. Dia ingin menjemput impian. Tapi dua tahun yang lalu saat dia tahu kamu tlah menikah, dia langsung drop. Kami harus membawanya ke Amerika waktu itu. Tapi tak banyak yang berbeda, smangatnya yang berapi-api sirna sejak saat itu. Kami trus berusaha tuk buat dia bangkit lagi. Hingga stahun lalu om temukan alamatmu dijakarta. Kami sempat tinggal disana beberapa bulan. Tak jarang juga om dan tante berhenti beberapa waktu didepan rumahmu, menemani dia yang ingin melihatmu. Sejak itu dia mulai bangkit lagi. Aku mau sembuh, aku ingin menemuinya, kata Arry penuh semangat waktu itu. Makanya dia tak pernah berhenti berusaha sembuh, aku ingin terlihat menarik didepannya, kata Arry lagi” tante berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melanjutkan kembali ceritanya “saat itu, tiga tahun lalu dia ajak tante kesebuah toko perhiasan di Jakarta. Lama tante membantunya memilih-milih cincin yang pas dengan yang diinginkannya. Chika suka yang simple ma.ucapnya. Tapi dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kepalanya sakit, kami memacu mobil kencang agar cepat sampai dirumah. Tapi begitu tiba dirumah, dia pingsan cukup lama. Dan akhirnya kami putuskan untuk membawanya kedokter, setelah melewati beberapa tes, diketahui dia mengidap kanker otak. Dokter memfonisnya takkan mampu bertahan lebih dari 3 bulan. Dia tak mau melihatmu sedih dan menangis. Lebih baik kamu membencinya daripada membuatmu sedih karena kematiannya. Oleh sebab itulah dia memilih memutuskan hubungan kalian. Tapi seminggu yang lalu beberapa kali dia minta maaf sama tante dan om, dia bilang kalau waktunya tak banyak lagi” tante lalu terdiam, tertunduk lesu dan larut dalam duka yang mendalam. Cerita tante Leni tentang anak semata wayangnya ini membuat ku lemas dan hancur. “Kenapa tak kau katakan ini dari dulu Ar, aku bisa menjagamu, merawatmu. Aku juga sayang ma kamu, hingga detik ini pun sesungguhnya ku pun masih sangat menyayangimu” jerit hati kecilku yang sesalkan keputusanmu. “boleh saya melihatnya tan” tanyaku yang kemudian dijawab dengan anggukan om Burhan yang berusaha tetap tersenyum.
Memasuki ruang ICU, kulihat Arry yang terlelap dalam dunianya. Terbaring lemah dengan berbagai slang dan alat Bantu yang menancap ditubuhnya. Arry empat jam lalu kamu masih sehat. Empat jam lalu ku masih bisa memelukmu, dan empat jam lalu ku masih bisa berbagi bersamamu. Kucoba memelukmu walo terhalang oleh alat-alat yang buatku tak leluasa. Kuciumi wajahmu, kubelai rambutmu yang begitu indah. “I love you Ar, I love you” bisikku ditelingamu berharap kau mendengar dan menjawabnya. Kutarik kursi yang ada didekat ranjang sempit ini. Kugenggam erat tanganmu. Kuciumi berkali-kali. ”Ar, ini aku datang, aku Chie, your eternal love” aku berhenti sejenak mengambil nafas dalam-dalam. “Ar, beri aku isyarat kalo kau mengerti yang kukatakan?” lama aku larut dalam ceritaku yang hanya aku pendengar skaligus penuturnya. Beberapa jam berlalu, aku tertidur dengan tanganmu dalam genggaman. Tiba-tiba ku terbangun, sebuah belaian lembut dirambutku. Sesekali mengelus tanganku. Ku angkat tubuhku yang bersandar didekatmu. Dan betapa bahagianya aku, saat ku tahu kamu tlah sadar dan tak terlihat sakit sedikit pun. Aku yang senang campur haru menghujanimu dengan berjuta Tanya yang slama ini ku pendam. Tapi kau hanya tersenyum lalu membenamkanku dalam pelukmu. Kau tempelkan jari telunjukmu dibibirku sbagai isyarat agar ku diam. Sambil memelukku tanganmu memainkan rambut panjangku. Sesekali kau cium keningku dan bisikkan “I Love You” Air mataku tak berhenti mengalir, basahi dadamu. Sesekali kau menarik nafas dalam-dalam. “berat ya?” tanyaku. “ntar kamu cape lo, aku kan berat” lanjutku. “gapapa, aku ingin terus memelukmu hingga saatnya tiba” jawabmu lirih. Kucoba untuk tetap tersenyum, senyum termanisku. “Ya Tuhan, beri dia kesempatan tuk hidup lebih lama lagi” doa hatiku. “dia terlalu baik, terlalu manis untuk meninggalkan dunia ini” lanjutku dalam hati.
Beberapa menit kemudian nafasmu mulai tak teratur, detak jantungmu pun begitu. Kupanggil om dan tante juga suster jaga. beberapa petugas rumah sakit dan seorang lelaki paruh baya bergegas masuk. Kami dipersilahkan keluar agar tak mengganggu pemeriksaan. Tapi kamu yang terus menggenggam tanganku, dan panggil namaku meski kau mulai tak sadar buatku hanya mampu bersimpuh disamping ranjang rumah sakit ini. Aku tak tahu alam bawah sadarmukah yang berbicara ataukah memang dirimu yang tersadar tapi tak mampu membuka mata. Berkali-kali kau ucap I love you chie, I love you. Jangan tinggalin aku lagi ya. Aku hanya menganggukkan kepala. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Genggaman tanganmu melemah, kulepaskan pelan-pelan dan meletakkan tanganmu disamping tubuhmu. Detak jantungmu mulai normal lagi, dan nafasmu juga tak lagi tersengal-sengal. Kumelangkah pelan meninggalkan ruangan dingin ini. “Chika” panggilmu lirih “ya” jawabku spontan.
“Kenapa kamu masih terjaga?” Tanya batinku, padahal dokter tlah menyuntikan beberapa cc opium tuk buatmu tenang dan lepas dari rasa sakit yang begitu hebat. “jangan pergi ya” Pintamu sembari mengulurkan kedua tanganmu. Kupeluk tubuhmu yang mulai melemah. “titip papa mama ya, dulu hanya aku yang mereka punya, sekarang jadilah putri papa dan mama menggantikan posisiku” lanjut mu dengan suara pelan. “jangan ngomong yang aneh-aneh ya, kamu pasti bisa sembuh dan bertahan” bantahku coba berikan spirit padanya. “I love you so much Chie” katamu lagi. Kemudian pelukanmu tak lagi erat, tak kudengar lagi detak jantungmu. Spontanku berdiri, berteriak histeris dapati mesin monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. “Arry! Arry! Bangun Arry!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuhmu. Paramedis berlari menghampirinya. Dikeluarkan alat yang mirip setrika. Tubuhmu terguncang hebat saat alat itu ditempelkan didadamu. Hal yang sama mereka lakukan berulang-ulang. Hingga akhirnya mereka menyerah dan menggelengkan kepala. Suster cantik berseragam putih itu lalu menarik selimut putih dan menutupkannya diseluruh tubuhmu juga wajahmu. Dokter paruh baya itu tak berkata apa-apa, hanya tepukan hangat dipundak om Burhan sebagai support dan rasa prihatin. Tante lena menangis histeris, sementara aku tetap menggenggam tanganmu meski tanganmu tlah menyilang diperutmu. Kubelai dan kuciumi wajahmu. Kenapa harus berakhir seperti ini. “Aku ga butuh rumah, mobil, atau apapun darimu Ar, aku ingin melihatmu hidup dan bahagia. Love you Ar” bisikku ditelingamu beberapa detik sebelum petugas membawamu ke ruang jenasah. Mempersiapkan perjalananmu pulang sebelum kemudian disemayamkan. Tubuhku lemas, rasanya kakiku tak mampu menopang tubuhku. Kurangkul tante Lena yang berjalan gontai. Malam ini kuputuskan untuk menginap dirumah tante. Mencoba menguatkan hatinya.
Pagi ini dipemakaman keluarga sanak saudaramu, sahabat juga kerabat jauh pun berkumpul, menghadiri pelepasanmu menuju keabadian. Acara berlangsung dengan hikmat hingga acara itu selesai. satu persatu mereka meninggalkan pelataran ini. Hingga hanya aku yang tersisa, duduk sendiri, terpekur dalam doa. Entah ini hanya imagiku ataukah halusinasi, kulihat bayangmu didepanku. Tersenyum manis lalu berkata, “jangan nangis lagi ya, aku tak kan pernah jauh darimu, aku selalu disampingmu. Bersama sang bayu yang bertiup lembut ditelingamu”. Aku tersentak! Tiba-tiba bayanganmu menghilang. Hanya sepi yang kurasakan, aku berdiri dan tinggalkan areal ini. Sesekali aku menoleh kebelakang. sampai ketika hendak menaiki mabil yang membawa iringan keluarga, aku menoleh lagi kebelakang, berharap masih dapat melihatmu. Tapi itu hanya anganku. Perlahan iring-iringan mobil mulai menjauh, dan betapa terkejutnya aku saat ku lihat sosokmu berdiri disamping pusaramu.
Sesampainya dihotel, aku langsung memesan tiket pesawat dengan keberangkatan hari ini juga Kukemasi barangku, berharap secepat mungkin tinggalkan kota indah ini. Membingkai apik catatan cinta putihku yang sekian lama coba lupakan. Menata bait-bait puisi hati yang hancur karna kepergianmu. Mencoba menyulam kembali kain cintaku yang tlah sobek dan lapuk oleh waktu.
Selamat jalan Arry, slamanya kau kan jadi my endless love. Bantu aku tuk menyembunyikannya ya, agar tak ada seorang pun yang kan terluka saat mengetahui rasaku yang masih terlalu dalam padamu.
Itulah Cerpen Sedih : KASIH PUTIH moga kalian suka yaaa
Masuki lobby hotel tugu, bergegas ku mengambil kunci kamar yang kutitipkan pada recepsionis yang slalu tersenyum ramah, dibalut busana batik, anggun sekali. Kurebahkan tubuh bersimbah keringat ini diatas springbed empuk bercover pink-blue. Kurentangkan tanganku, kuhirup udara pagi kota malang yang masuk dari jendela kamar hotelku yang sengaja kubuka dan matikan ACnya. What a wonderfull city batin ku. Puas beristirahat, ku basahi tubuh dengan air mawar yang tlah disiapkan oleh room service. Nyaman banget, aroma lembut mawar berikan berjuta ketenangan. Brendam sambil menikmati secangkir coffee latte hangat…. Ehm… what a life!
Jam 9.15 pagi bergegasku tinggalkan kamar hotel dan naiki taksi yg tlah ku pesan sebelumnya. Duduk dibangku belakang sambil pandangin kota Malang yang tak banyak brubah, kecuali banyaknya ruko berjejal dispanjang jalan. Pasar pagi di stadion Gajayana tak lagi ada, digantikan oleh mall yang berdiri megah.
Pasar pagi? Ehm…, spontan ku tersenyum. Ada banyak kisah manis disitu.
Tiba-tiba lagu melo Danial Sahuleka memecah lamunanku. Kuangkat telpon dan menjawabnya ”Sampai mana Chie?” Tanya lelaki dengan suara beratnya. “bentar lagi. Sabar ya” jawabku. “Pak kebut dikit ya” pintaku pada sopir taksi.
Lima menit berselang, aq tlah sampai di depan rumah mungil bercat biru. Stelah membayar taksi, kupencet bel rumah yg berbentuk sapi, mooow…. Mooow….bunyinya. Tak lama berselang sosok tinggi keluar, bukakan pintu pagar lalu persilahkan aku masuk.
“mo minum apa?” tanyanya ramah beberapa detik setelah ku duduk disofa putih gading miliknya. “air putih aja” jawabku singkat. “tamu jauh kok cuma dapet air putih, coffee or some tea?” tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng menjawab niat baiknya.
Kupandangi punggung bidangnya yang berlalu mengambil segelas air. Sosok yang pernah mengisi hari indahku. Lelaki yang tlah torehkan tinta emas terindahnya dalam buku harianku yang hingga kini masih kusimpan rapi dan kusembunyikan direlung hatiku yang terdalam. Melihat senyumanmu yang suguhkan ketenangan dan kedamaian buat kerinduanku menyeruak, berontak, dan tak terbendung. Kerinduan yang slama ini cukup terobati hanya dengan mengingat tawamu dan hangatnya genggaman tanganmu.
Tak banyak yang brubah darimu, masih ganteng meski tak lagi muda. kamu kini tlah menjelma menjadi sosok dewasa yang tetap sulit tuk ku elak. kamu masih mempesona, lebih mempesona bahkan.
“mikir apa sih?” tanyamu buyarkan anganku sembari menyodorkan segelas air. “nothing” jawabku singkat. Tak begitu lama, kami pun larut dalam obrolan yang sbenarnya hanya basa basi semu sbelum masuki inti dari maksud kedatanganku yang tak lain adalah pintamu beberapa hari yang lalu.
Waktu itu, lewat tengah malam kau telpon aku, kau katakan betapa kau tak bisa hidup tanpaku, betapa beratnya hari-hari yang kau jalani tanpaku, betapa rapuh dan pongahnya dirimu. Kau ungkapkan betapa merindunya dirimu. Kau juga bertutur tentang petualanganmu dengan beberapa wanita yang katamu tak pernah bisa sesempurna aku dalam merenda kasih. Rasa kecewa, haru, sedih, senang, juga bangga tersaji seketika. Memohonmu tuk bisa temuiku, lima menit cukup ga lebih, pintamu kala itu. Aku yang kan mencarimu, aku yang butuh kamu, aku yang bodoh, aku, aku, dan berjuta aku terucap. Tapi sangat mustahil untukku bisa temuimu dikotaku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menemuimu.
Ditengah obrolan hangat, tiba-tiba kau genggam tanganku. Kucoba tuk menariknya. Tapi kerlingan matamu buatku luluh. Kubiarkan dan nikmati genggamanmu sesekali kau mainkan jemariku. “I miss you” bisikmu “and I still in love with u” lanjutmu. ”How can I live if apart of my soul was jailed by your love? How can I breath freely if my lungs don’t have any air to breath, cos the oxygen was tubed and taken away. And tell me, how can I live normally if my heart was gone long time ago. He prefer lives with u wether with his soul” ungkapan hatimu sambil tetap menggenggam erat jemariku dan pandangiku penuh kelembutan. Ya tuhan, Bantu aku untuk hentikan smua ini. Bantu aku untuk bisa tetap berdiri dan bertahan dari cinta putih ini.
Tak banyak kata yang mampu kuucapkan, hanya beberapa kali kata “Sorry” keluar dari bibir tipisku. “ aku pulang dulu ya, ntar malem dinner dimana?” tanyaku mencoba alihkan topic pembicaraan dan mengganti suasana yang tlah mengharu biru. Aku takut terlelap dan terbuai dalam mimpi manis yang real ini. Hatiku pun ingin terlena tapi logikaku berkata lain. Tapi kau hanya diam seribu bahasa. Hanya matamu yang coba berbicara dan terus pandangiku. Ah…. Mata indah ini!
“Maaf ya” kata ku, sembari bergegas pergi. Tapi genggaman tanganmu begitu erat. Tak ada daya tuk ku lepaskan, sbaliknya tiba-tiba kau tarik aku dalam pelukmu. Kau memelukku beritu erat seolah inilah pelukan terakhir yang kau miliki. Air mataku terurai. “Ar, aku pun merindu, aku juga ingin bersamamu, tapi….” Aku tak mampu selesaikan kalimatku saat tiba-tiba kau katakan, “I’m dying chie, I’m dying” katamu. Tak ku mengerti kenapa tubuhmu bergetar hebat saat kau ucap kata itu.
Ya Tuhan gimme a clue. “Ar, apa yang salah? Kamu kenapa?” tapi kamu tak mau menjawab apapun selain pelukanmu yang semakin erat. “ Arry, honey….. look at me. Tell me what’s goin on?” pintaku. Sementara kau hanya menggelengkan kepala.
“May I kiss your lips?” pintamu yang spontan buatku ingin lepas dan berlari sejauh mungkin dari pelukanmu. “Chie, I know it’s wrong and I know it’s the biggest sin I give to you, but….. Just once, please Chie. I promise, it must be the last kisses” pintamu mengiba. Tak kupahami diriku yang tlah terhipnotis kharismamu dan biarkanmu mencium bibirku lembut dan mesra. Tersentakku ketika ku tahu kau menangis saat kau menciumku.
“Ar, kamu sakit?” tanyaku beberapa menit kemuadian. “Apa yang kau sembunyikan Ar” tanyaku lagi. “apa yang belum kau ungkapkan slain rasamu yang terlalu padaku?” pintaku mencari kejujuran sembari duduk didepannya. Tapi bibirmu terkatup rapat. Hanya senyum manis yang kau berikan. “ kalo kamu ga mau ngomong, aku pulang aja ya” ancamku. Tapi kamu tak bergeming, duduk terdiam dengan tatapan yang sulit untukku artikan. “ bener nich, aku pulang ya!” ancamku dan mempertinggi nada suaraku.
Kuambil tas ku dan berlalu dari hadapanmu. Tiba-tiba kau peluk aku dari belakang, ciumi leher dan pundakku. “Arry!” bentak ku sambil memberontak mencoba lepas dari rengkuhnya. “malu Ar, malu, apa kata orang nanti!” lanjutku. “Ya Tuhan, tolong buat dia mendengarku, tolong hentikan smua kegilaan ini” doaku. Berkali-kali ku coba lepaskan pelukannya. Tapi, tubuh mungilku tak berdaya melawannya. Dari semula ini adalah kesalahan besar. Tak seharusnya ku menemuimu, berbohong pada anak dan suamiku, juga keluarga besarku. Apa yang kan suamiku lakukan kalau dia lihatku begini. “Ya Tuhan bantu aku tuk lepas. Ampuni otak udangku ya Robb” pintaku dalam hati.
Tak lama kemudian kau lepaskan pelukanmu, ketika tiba-tiba kau berdiri diatas lututmu lalu berkata ”Ampuni aku yang bodoh ini ya, pukul aku kalo kau mau. Tampar aku, biar ku bangun dan hidup kembali. Maki aku semaumu. Aku memang gila. Mengharap sesuatu yang ga mungkin bisa aku miliki. Khayalkan kehidupan padahal tubuhku tlah mati. Maaf ya, hasratku terlalu padamu. Aku coba expresikan rasa yang skian lama ku pendam dan tlah rasuki stiap jengkal tubuhku. Cintaku yang mendalam mengalir dalam aliran darahku hingga begitu sulit tuk ku lepaskan. Kamu lebih dari apa yang mampu kau fikirkan. Kamu sgalanya bagiku” kau berhenti sejenak lalu mengambil nafas dalam-dalam” Tunggu ya, aku punya sesuatu yang tlah lama aku siapin untuk kamu” rasa kesalku buatku tak bereaksi atas pintanya. Tak kuhiraukan dia yang masih bersimpuh. “Chie, skali ini aja, tolong dengarkan aku, ya…. Cantik!” rayumu buat ku luluh dan tersenyum.
Kamu bergegas masuk kerumahmu, dan tak lama kemuadian kamu keluar membawa bungkusan kado warna biru tua, berhias bunga mawar merah diatasnya. “jangan dibuka sebelum kamu sampai Jakarta ya…! Janji ya…. “ pintamu. Aku mengangguk lalu meninggalkan rumahmu. “Chie! Panggilmu, “ aku anter ya” lanjutmu. “Ga usah, thanks ya” jawabku cepat. “please Chie, ya… aku khawatir, ntar kamu kenapa-napa lagi?” argument mu buatku tak punya pilihan kecuali iya.
Jarak rumahmu ke hotel Tugu tak terlalu jauh, ga sampai 15 menit. Tapi laju mobilmu yang begitu pelan diiringi suara khas Sade Adu, serasa melayang pada masa remaja ku dulu, masa indah yang kulalui bersamamu. Raut bahagia terpancar jelas di matamu, sesekali kau belai lembut rambutku, dan sesekali pula kau genggam erat tanganku dan menciumnya mesra. Hatiku tertawa, kita tak ubahnya sepasang manuasia yang dimabuk asmara. Tak kusadari kalau dari tadi mobilmu hanya berputar-putar dijalanan depan hotel tugu. “ Ar, kita da sampe, mampir yuk” ajakku. Kamu hanya tersenyum. “ soal dinner aku ga janji, tapi I’ll try the best. Ntar aku kabari ya” katamu sebelum beberapa saat berlalu dengan mercy new eyes mu.
Kumelangkah dengan hati berbunga skaligus rasa bersalah yang sama kadarnya. “Sore mbak”, sapa pak satpam ramah. “sore juga pak” jawabku sambil bergegas menghampiri resepsionis tuk mengambil kunci kamarku. Sesampainya di kamar, kuletakkan kado Arry diatas nakas samping ranjang. Pikiranku berkecamuk. Senang sedih, takut, bahagia tercampur jadi satu dalam wadah kebimbangan.
Tiga jam berlalu begitu lambat. Berkali-kali kulihat jam tangan. Tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Tak jua sms ataupun telpon darimu. Kurebahkan lagi tubuhku diatas springbed empuk ini sambil memeluk bantal, kupandangi kotak kado dari Arry. “kira-kira apa isinya” rasa penasaranku buatku tak indahkan janji yang kuucap. Perlahan ku buka bungkusnya. Ada beberapa kertas dan sebuah kotak perhiasan disitu. Kuambil kotak perhiasan dan membukanya, “wah…. Cantiknya” seruku. Sebuah cincin emas putih bertahtakan berlian yang lumayan besar dan berkilau indah. “Tapi… untuk apa dia memberiku cincin ini?” Tanyaku dalam hati. Kuambil beberapa lembar kertas yang masih tertata rapi dalam kotak kado itu. Ya tuhan, betapa terkejutnya aku saat ku baca kalau kertas kecil itu berisi BPKB mobil dan STNK atas namaku beserta kuncinya, walau pajaknya tlah mati. Kuambil lagi lipatan kertas kedua, ku buka dan ku baca dengan cermat dan seksama. Ternyata lembaran ini berisi fotokopi sertifikat tanah dan rumah yang juga atas namaku, beralamatkan tempat tinggalnya. Rumah yang tadi aku singgahi. Rumah yang menyimpan banyak kenangan manis dan terlalu indah untuk ku kenang. Kuambil satu lembar kertas yang tersisa, tulisan tanganmu bertutur sperti ini:
“My lovely Chie, sorry kalau apa yang kuberikan ini membuatmu berfikir dan bertanya-tanya. Hanya ini yang mampu kuberi padamu. Hanya dengan ini ku tetap bisa menggenggam erat cintamu. Sertifikat tanah dan rumah yang asli ada dinotaris, sertifikat ini hanya butuh tanda tanganmu untuk mengesahkannya. alamatnya ada dimamaku. Kalau saatnya tiba, beliau kan menghubungimu. Tolong, jangan ditolak ya. Soal cincin berlian itu, anggaplah itu sebagai tanda dari ikatan benang merah hati kita. Walau apapun yang terjadi benang merah ini akan tetap terikat dijari manisku. Benang merah yang tlah terikat di jari manismu jangan dilepas ya…. Biar ku bisa melihat dan merasakan kebahagiaan yang kau rasakan. Biarku bisa memohon doa dan berimu semangat kala kau jatuh. Cincin ini Cuma simbol, tak sebanding dengan cintaku padamu. Tak sebanding dengan hasratku yang haus akan hadirmu.
Love you much Chie, my eternal love”
Air mataku mengalir deras bak Niagara. “Apa yang kau sembunyikan dariku Ar?” Tanya hatiku. Kuambil handphone ku untuk menghubungimu. Tapi, belum juga kugenggam handphoneku, Danial Sahuleka tlah berdendang merdu “you make my world so colourfull, I’ve never had it too good, my love I thank you for all the love you gave to me…..”
Kulihat siapakah yang menghubungiku, ternyata ini darimu. Ku jawab telpon mu, tapi… kanapa seorang wanita dengan suara berat menahan tangis yang menghubungiku? Siapa dia? “Chika, ini tante, mamanya Arry, kamu dimana nak? Arry… Arry… “ Wanita paruh baya itu tak mampu merampungkan kalimatnya. Tak lama seorang laki-laki dengan suara yang amat berat dan parau melanjutkan penggalan kalimat tadi “Chika, bisa dateng kesini nak, Arry… kritis, skarang ada di ICU di rumah sakit Beta, kamu tahukan nak, sekarang ya sayang” laki-laki itu langsung mematikan telponnya. Tanpa perduli seribu Tanya yang menjejali otakku. Aku lemas seketika. “Arry!!!” teriakku dalam hati.
Aku bergegas menuju lobby hotel menitipkan kunci kamar dan memanggil taksi yang kebetulan lewat didepan hotel “Rumah sakit Beta pak, cepet ya pak!” kataku pada sopir taksi itu. Sesampainya dirumah sakit aku berlari secepat mungkin tuk dapat melihatmu endless love ku, tak ku hiraukan suster rumah sakit yang menegurku untuk tidak berisik dalam rumah sakit.
Sampai diruang ICU, kulihat tante Leni yang tak hentinya menangis di pelukan om Burhan-suaminya. “Om, tante… Arry gimana?” tak seorangpun yang menjawab. Tante Leni lalu berdiri dan langsung memelukku. Tangisnya tak terbendung lagi. Aku berusaha menenangkannya, walau seribu tanya yang berkecamuk dihatiku belum terjawab. Kuajak tante Leni untuk duduk kembali. Pelan-pelan kuulang kembali pertanyaanku tadi.
Tante leni masih larut dalam dukanya, sambil menepuk-nepuk punggung tanganku, kemudian dia bercerita “ Arry kena kanker otak stadium lanjut, dia bisa bertahan sampai sejauh ini merupakan keajaibanNya. Besarnya cinta yang dia miliki membuatnya mampu bertahan. Dia ingin menjemput impian. Tapi dua tahun yang lalu saat dia tahu kamu tlah menikah, dia langsung drop. Kami harus membawanya ke Amerika waktu itu. Tapi tak banyak yang berbeda, smangatnya yang berapi-api sirna sejak saat itu. Kami trus berusaha tuk buat dia bangkit lagi. Hingga stahun lalu om temukan alamatmu dijakarta. Kami sempat tinggal disana beberapa bulan. Tak jarang juga om dan tante berhenti beberapa waktu didepan rumahmu, menemani dia yang ingin melihatmu. Sejak itu dia mulai bangkit lagi. Aku mau sembuh, aku ingin menemuinya, kata Arry penuh semangat waktu itu. Makanya dia tak pernah berhenti berusaha sembuh, aku ingin terlihat menarik didepannya, kata Arry lagi” tante berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melanjutkan kembali ceritanya “saat itu, tiga tahun lalu dia ajak tante kesebuah toko perhiasan di Jakarta. Lama tante membantunya memilih-milih cincin yang pas dengan yang diinginkannya. Chika suka yang simple ma.ucapnya. Tapi dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kepalanya sakit, kami memacu mobil kencang agar cepat sampai dirumah. Tapi begitu tiba dirumah, dia pingsan cukup lama. Dan akhirnya kami putuskan untuk membawanya kedokter, setelah melewati beberapa tes, diketahui dia mengidap kanker otak. Dokter memfonisnya takkan mampu bertahan lebih dari 3 bulan. Dia tak mau melihatmu sedih dan menangis. Lebih baik kamu membencinya daripada membuatmu sedih karena kematiannya. Oleh sebab itulah dia memilih memutuskan hubungan kalian. Tapi seminggu yang lalu beberapa kali dia minta maaf sama tante dan om, dia bilang kalau waktunya tak banyak lagi” tante lalu terdiam, tertunduk lesu dan larut dalam duka yang mendalam. Cerita tante Leni tentang anak semata wayangnya ini membuat ku lemas dan hancur. “Kenapa tak kau katakan ini dari dulu Ar, aku bisa menjagamu, merawatmu. Aku juga sayang ma kamu, hingga detik ini pun sesungguhnya ku pun masih sangat menyayangimu” jerit hati kecilku yang sesalkan keputusanmu. “boleh saya melihatnya tan” tanyaku yang kemudian dijawab dengan anggukan om Burhan yang berusaha tetap tersenyum.
Memasuki ruang ICU, kulihat Arry yang terlelap dalam dunianya. Terbaring lemah dengan berbagai slang dan alat Bantu yang menancap ditubuhnya. Arry empat jam lalu kamu masih sehat. Empat jam lalu ku masih bisa memelukmu, dan empat jam lalu ku masih bisa berbagi bersamamu. Kucoba memelukmu walo terhalang oleh alat-alat yang buatku tak leluasa. Kuciumi wajahmu, kubelai rambutmu yang begitu indah. “I love you Ar, I love you” bisikku ditelingamu berharap kau mendengar dan menjawabnya. Kutarik kursi yang ada didekat ranjang sempit ini. Kugenggam erat tanganmu. Kuciumi berkali-kali. ”Ar, ini aku datang, aku Chie, your eternal love” aku berhenti sejenak mengambil nafas dalam-dalam. “Ar, beri aku isyarat kalo kau mengerti yang kukatakan?” lama aku larut dalam ceritaku yang hanya aku pendengar skaligus penuturnya. Beberapa jam berlalu, aku tertidur dengan tanganmu dalam genggaman. Tiba-tiba ku terbangun, sebuah belaian lembut dirambutku. Sesekali mengelus tanganku. Ku angkat tubuhku yang bersandar didekatmu. Dan betapa bahagianya aku, saat ku tahu kamu tlah sadar dan tak terlihat sakit sedikit pun. Aku yang senang campur haru menghujanimu dengan berjuta Tanya yang slama ini ku pendam. Tapi kau hanya tersenyum lalu membenamkanku dalam pelukmu. Kau tempelkan jari telunjukmu dibibirku sbagai isyarat agar ku diam. Sambil memelukku tanganmu memainkan rambut panjangku. Sesekali kau cium keningku dan bisikkan “I Love You” Air mataku tak berhenti mengalir, basahi dadamu. Sesekali kau menarik nafas dalam-dalam. “berat ya?” tanyaku. “ntar kamu cape lo, aku kan berat” lanjutku. “gapapa, aku ingin terus memelukmu hingga saatnya tiba” jawabmu lirih. Kucoba untuk tetap tersenyum, senyum termanisku. “Ya Tuhan, beri dia kesempatan tuk hidup lebih lama lagi” doa hatiku. “dia terlalu baik, terlalu manis untuk meninggalkan dunia ini” lanjutku dalam hati.
Beberapa menit kemudian nafasmu mulai tak teratur, detak jantungmu pun begitu. Kupanggil om dan tante juga suster jaga. beberapa petugas rumah sakit dan seorang lelaki paruh baya bergegas masuk. Kami dipersilahkan keluar agar tak mengganggu pemeriksaan. Tapi kamu yang terus menggenggam tanganku, dan panggil namaku meski kau mulai tak sadar buatku hanya mampu bersimpuh disamping ranjang rumah sakit ini. Aku tak tahu alam bawah sadarmukah yang berbicara ataukah memang dirimu yang tersadar tapi tak mampu membuka mata. Berkali-kali kau ucap I love you chie, I love you. Jangan tinggalin aku lagi ya. Aku hanya menganggukkan kepala. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Genggaman tanganmu melemah, kulepaskan pelan-pelan dan meletakkan tanganmu disamping tubuhmu. Detak jantungmu mulai normal lagi, dan nafasmu juga tak lagi tersengal-sengal. Kumelangkah pelan meninggalkan ruangan dingin ini. “Chika” panggilmu lirih “ya” jawabku spontan.
“Kenapa kamu masih terjaga?” Tanya batinku, padahal dokter tlah menyuntikan beberapa cc opium tuk buatmu tenang dan lepas dari rasa sakit yang begitu hebat. “jangan pergi ya” Pintamu sembari mengulurkan kedua tanganmu. Kupeluk tubuhmu yang mulai melemah. “titip papa mama ya, dulu hanya aku yang mereka punya, sekarang jadilah putri papa dan mama menggantikan posisiku” lanjut mu dengan suara pelan. “jangan ngomong yang aneh-aneh ya, kamu pasti bisa sembuh dan bertahan” bantahku coba berikan spirit padanya. “I love you so much Chie” katamu lagi. Kemudian pelukanmu tak lagi erat, tak kudengar lagi detak jantungmu. Spontanku berdiri, berteriak histeris dapati mesin monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. “Arry! Arry! Bangun Arry!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuhmu. Paramedis berlari menghampirinya. Dikeluarkan alat yang mirip setrika. Tubuhmu terguncang hebat saat alat itu ditempelkan didadamu. Hal yang sama mereka lakukan berulang-ulang. Hingga akhirnya mereka menyerah dan menggelengkan kepala. Suster cantik berseragam putih itu lalu menarik selimut putih dan menutupkannya diseluruh tubuhmu juga wajahmu. Dokter paruh baya itu tak berkata apa-apa, hanya tepukan hangat dipundak om Burhan sebagai support dan rasa prihatin. Tante lena menangis histeris, sementara aku tetap menggenggam tanganmu meski tanganmu tlah menyilang diperutmu. Kubelai dan kuciumi wajahmu. Kenapa harus berakhir seperti ini. “Aku ga butuh rumah, mobil, atau apapun darimu Ar, aku ingin melihatmu hidup dan bahagia. Love you Ar” bisikku ditelingamu beberapa detik sebelum petugas membawamu ke ruang jenasah. Mempersiapkan perjalananmu pulang sebelum kemudian disemayamkan. Tubuhku lemas, rasanya kakiku tak mampu menopang tubuhku. Kurangkul tante Lena yang berjalan gontai. Malam ini kuputuskan untuk menginap dirumah tante. Mencoba menguatkan hatinya.
Pagi ini dipemakaman keluarga sanak saudaramu, sahabat juga kerabat jauh pun berkumpul, menghadiri pelepasanmu menuju keabadian. Acara berlangsung dengan hikmat hingga acara itu selesai. satu persatu mereka meninggalkan pelataran ini. Hingga hanya aku yang tersisa, duduk sendiri, terpekur dalam doa. Entah ini hanya imagiku ataukah halusinasi, kulihat bayangmu didepanku. Tersenyum manis lalu berkata, “jangan nangis lagi ya, aku tak kan pernah jauh darimu, aku selalu disampingmu. Bersama sang bayu yang bertiup lembut ditelingamu”. Aku tersentak! Tiba-tiba bayanganmu menghilang. Hanya sepi yang kurasakan, aku berdiri dan tinggalkan areal ini. Sesekali aku menoleh kebelakang. sampai ketika hendak menaiki mabil yang membawa iringan keluarga, aku menoleh lagi kebelakang, berharap masih dapat melihatmu. Tapi itu hanya anganku. Perlahan iring-iringan mobil mulai menjauh, dan betapa terkejutnya aku saat ku lihat sosokmu berdiri disamping pusaramu.
Sesampainya dihotel, aku langsung memesan tiket pesawat dengan keberangkatan hari ini juga Kukemasi barangku, berharap secepat mungkin tinggalkan kota indah ini. Membingkai apik catatan cinta putihku yang sekian lama coba lupakan. Menata bait-bait puisi hati yang hancur karna kepergianmu. Mencoba menyulam kembali kain cintaku yang tlah sobek dan lapuk oleh waktu.
Selamat jalan Arry, slamanya kau kan jadi my endless love. Bantu aku tuk menyembunyikannya ya, agar tak ada seorang pun yang kan terluka saat mengetahui rasaku yang masih terlalu dalam padamu.
Itulah Cerpen Sedih : KASIH PUTIH moga kalian suka yaaa