1. ”The Bolter” karya Frances Osborne

Buku ini mengisahkan kronik kehidupan Idina Sackville, seorang perempuan Inggris yang menentang adat kebiasaan dengan memiliki begitu banyak kekasih dan memilih kehidupan asing di Kenya pada 1928. Pembaca dihadapkan dengan pertanyaan, apakah Sackville seorang protofeminist layaknya Isak Dinesen yang menjunjung tinggi kebebasan atau sekadar gadis kaya yang manja dan mencintai skandal? Melalui buku ini, Frances Osborne yang tak lain merupakan cicit Sackville berusaha melacak jejak petualangan nenek moyangnya yang gegabah dan sedikit ”gila.”
2. ”Dreaming in Hindi” karya Katherine Russell Rich

”Dreaming in Hindi” mengisahkan kesialan beruntun yang dialami penulisnya, Katherine Russel Rich. Setelah dua tahun berjuang melawan kanker dan dipecat dari pekerjaan, Rich kehilangan kata-kata untuk menggambarkan betapa buruk nasib yang dialaminya. Buku ini merupakan kisah menawan dan emosional tentang perjalanan Rich ke India, tempat ia mencoba menguasai bahasa asing yang rumit sampai akhirnya menguasai bahasa kemungkinan.
3. ”Little Bee” karya Chris Cleave

Sebuah memori mengerikan menyatukan dua perempuan yang sama sekali berbeda. Perempuan pertama adalah seorang pengungsi muda asal Nigeria yang bertabiat masam namun cerdik dan g baru saja keluar dari pusat penahanan Inggris. Sementara perempuan yang satu lagi adalah editor majalah mode perempuan Inggris. ”Little Bee” mengisahkan tentang kengerian dan keindahan secara sekaligus.
4. ”Blame” karya Michelle Huneven

Licik namun berhati tulus. ”Blame” mengisahkan tentang Patsy Maclemoore, seorang profesor sejarah berusia 20-an tahun yang sedikit liar dan terlibat dalam tindak kriminal yang berhubungan dengan alkohol. Patsy berhasil menemukan penebusan, namun berakhir dengan mempertanyakan moralnya sendiri di kemudian hari.
5. ”Losing Mum and Pup” karya Christopher Buckley

Kehidupan Christopher Buckly tidak seperti kehidupan yang dimiliki banyak orang. Orangtuanya adalah William F. dan Patricia Buckley, figur intelektual dan sosial di East Coast. ”Losing Mum and Pup” merupakan memoar Buckly tentang tahun-tahun setelah kematian kedua orangtuanya dan rasa kehilangan yang mendera. ”Orang-orang terkasih kadang-kadang melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan,” katanya. Namun dirinya tetap mengasihi mereka.
6. ”Zeitoun” karya Dave Eggers

Novel karya Dave Eggers ini mengisahkan seorang kontraktor Suriah yang seharusnya dihargai atas kerja tanpa pamrihnya di New Orleans selama dan setelah bencana badai Katrina, namun malah dikurung di dalam penjara darurat layaknya hewan. Buku ini merupakan sebuah karya masterpiece dengan gaya pelaporan memilukan tentang salah satu momen memalukan dalam sejarah Amerika.
7. ”Say You’re One of Them” karya Uwem Akpan

Hanya Uwen Akpan, seorang penulis Nigeria sekaligus imam Yesuit, yang mampu membimbing pembaca melewati medan keputusasaan, dari jalanan kumuh di Nairobi hingga kecamuk perang di Rwanda, dengan segenggam harapan di kepalan tangan. Kisah tentang pemerkosaan, pembunuhan, dan perbudakan anak-anak di dalam novel ini tidak tertanggungkan. Dikisahkan sebagian besar oleh anak-anak itu sendiri, ”Say You’re One of Them” membuat kita tersentuh dan tergerak melantunkan doa untuk dunia yang lebih baik.
8. ”Some Things That Meant the World to Me” karya Joshua Mohr

Temui Rhonda, seorang lelaki yang tenggelam dalam jeratan alkohol sebagai sebuah penebusan. Baris pertama novel dibuka dengan kalimat yang memicu intrik, ”Aku ingin bercerita tentang suatu malam ketika aku menyelamatkan hidup seorang pelacur.”

9. ”The Invisible Mountain” karya Carolina De Robertis

Novel ini mengisahkan tiga generasi perempuan berkuasa yang bernafsu melawan politik abad ke-20 di Amerika Selatan. Layaknya novel-novel terbaik lainnya, ”The Invisible Mountain” menceritakan kisah menarik tentang identitas, tempat, dan waktu.

10. ”Strength in What Remains: A Journey of Remembrance and Forgiveness” karya Tracy Kidder

Novel ini diangkat dari kisah nyata yang memikat tentang seorang lelaki bernama Cleo, yang setelah menyaksikan kehancuran tanah kelahirannya Burundi, terpaksa menghadapi kemiskinan dan penghinaan di Amerika. Namun semua itu tidak mampu menghancurkannya, justru membuatnya bangkit dan bertahan. Kidder menggambarkan secara jelas, pengalaman mendaki gunung selama 14 jam membuat seseorang menyadari bahwa melanjutkan hidup menunjukkan kekuatan, dan beberapa hal lebih penting daripada kesedihan.

kaos couple